Selasa, 01 Desember 2009

Minggu, 28 Desember 2008

Catatan Seorang Bulutangkismania Kaya dan Bahagia

Oleh: Prayoga Ahmadi Triyono

Dengan berbagai milis internet yang ada saat ini, kita merasa diuntungkan dapat menonton dan merasakan hal-hal yang oleh mayoritas kita tidak pernah kita alami. Salah satu gossip teranyar dari sebuah milis dilukiskan.
Di tengah berbagai masalah bangsa dan kemiskinan yang semakin menghimpit, tiga menteri dan ratusan pengusaha kakap dating ke Singapura untuk menghadiri sebuah pesta perkawinan konglomerat kelas kakap Indonesia. Daya pikat pesta ini tidak hanya sebatas lagu-lagu nostalgia, kristal, semerbak bunga dan kaviar hitam dari laut kaspia, tapi juga diperlihatkannya berbagai perhiasan emas, permata dan berlian yang sudah sangat langka. Tidak berlebihan memang jika ada yang berbisik bahwa inilah pesta taipan terbesar di awal Tahun Tikus.

Entah apa dan bagaimana kita masing-masing menyikapi realita semacam ini. Mungkin ada yang merasa seperti seorang anak kecil yang sedang mendengar dongeng tentang princess dengan sepatu kacanya atau seorang anak remaja yang sedang lewat didepan butik Hermes dan tidak berangan apapun, untuk memiliki seluruh barang pajangan yang berharga puluhan juta rupiah, karena realita tersebut terlalu jauh dan tak pernah terbayangkan olehnya.

Ada satu pertanyaan, kalau kesenjangan begitu jauh, apakah tidak mungkin kita yang biasa-biasa ini merasa kaya dan bahagia dengan keadaan kita? Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kesenjangan sosial di negara kita ini sangat besar. Tetapi bukankah kesenjangan tersebut hanya diukur oleh satu ukuran saja, yaitu uang?

Seorang psikolog tua Abraham Maslow pernah bercerita dengan teorinya pemuasan kebutuhan-nya, yang terkenal dengan hirarki Maslow. Beliau menggambarkan bahwa kebutuhan manusia merupakan hirarki dari strata yang paling rendah yaitu kebutuhan sandang dan pangan hingga level tertinggi yaitu aktualisasi diri. Secara mudahnya beliau menggambarkan bahwa kebutuhan dimulai dari awal baru level berikutnya dirasakan mendesak. Singkatnya orang yang belum cukup makan, maka dia tidak akan terdorong untuk memenuhi kebutuhan untuk gaul. Tentunya teori ini hanya berlaku jika rasa cukup tersebut bagi setiap individu jelas.

Seorang yang tamak akan memiliki ukuran cukup yang berbeda dengan individu yang pandai bersyukur dan dapat menerima hidup apa adanya. Sehingga dia tidak perlu untuk menimbun hutang dan bila perlu ngemplang (yang dibumbui seribu satu alasan) untuk sekedar memenuhi rasa cukup-nya. Satu hal yang pasti bahwa tidak semua kebutuhan dalam hirarki Maslow tersebut dapat diakomodir oleh uang. Mungkin ini merupakan suatu berita besar dan sekaligus berita yang menggembirakan bagi kita yang kebetulan tidak memiliki kesempatan mempunyai akses besar pada kelebihan uang yang melimpah, tetapi ingin merasa kaya dan bahagia.

Merasa kaya dan bahagia dengan apa yang kita miliki

Dalam Harian Kompas beberapa waktu lalu diceritakan kisah seorang guru bernama Yadi, guru olahraga di daerah Sukabumi yang memiliki gaji sebesar Rp100.000,- saja sebulan (mari jujur berapa gaji kita 10X, 100X atau bahkan 1.000X dari Yadi?). Mungkin kita harus memutar otak dan bila perlu kepala, untuk sekedar menjawab besok makan apa?. Namun, sumbangannya kepada dunia pendidikan dan visi serta semangat yang jelas, telah membuatnya bahagia jika melihat muridnya berhasil dan merasa kaya dengan cara yang berbeda.

Banyak diantara kita yang pandai menghitung bintang di langit hingga lupa ada sumur di depan mata. Rumput tetangga memang selalu nampak lebih hijau. Dan satu hal yang pasti lebih enak makan singkong beneran dari pada kita hanya bermimpi makan roti.

Mengisi diri dengan kegiatan

Teman-teman saya di milis penggemar bulutangkis adalah orang-orang yang istimewa. Meskipun memiliki berbagai macam latar belakang pendidikan, pekerjaan, suku, agama dan ras yang berbeda mereka memiliki kebiasaan yang kurang lebih hampir sama. Di samping membahas, mengupas dan men-share pengalaman mengenai permainan bulutangkis, pengalaman bertanding, perjalanan, raket & senar baru atau bahkan anggota atau peserta yang manis (suity) pun juga di bahas.

Dalam milis tersebut kita saling membahas mengenai apresiasi terhadap arti pentingnya persahabatan dan kekeluargaan diantara kita, sehingga terasa sekali bahwa setiap individu anggotanya merasa enjoy-bahagia dan berarti. Ternyata dari sebuah pertemanan yang sederhana ini kita dapat belajar bahwa tidak selamanya harta yang berlimpah dapat membuat kita merasa kaya dan bahagia. Kekayaan pengetahuan, perasaan, reaksi dan emosi, kreatifitas, kepribadian yang demokratis dan terbuka membuat kita akan merasa lepas, bebas dan bahagia sehingga kita dapat mengisi hidup dengan realistis apa adanya tanpa harus bermunafik ria dan merugikan pihak lain.

Andaikan saja tiap individu menyadari bahwa ia juga dapat memperoleh kepuasan dan kebahagian bahkan pengakuan serta penghargaan melalui pilihan dan optimalisasi fungsi berfikir dan berkreasi, melalui ketrampilan dan karyanya, mungkin tak perduli apakah dia konglomerat, guru, karyawan atau apalah dia rasanya setiap orang berhak dan tidak sulit untuk merasa kaya dan Bahagia.